BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Di
zaman sekarang ini banyak tindakan-tindakan yang tidak manusiawi.Salah satunya
adalah aborsi.Kasus aborsi sekarang ini bukan lagi hal yang awam didengar,
justru malah menjadi hal yang biasa didengar.Padahal tindakan ini sangat tidak
manusiawi dipandang dari segi moral, agama, dan budaya.
Kita
tidak jarang lagi melihat tindak aborsi dilakukan.Sering kali kita melihat
berita-berita di televisi yang memberitakan tindak aborsi.Janin-janin yang
umurnya baru beberapa bulan, bahkan beberapa minggu ditemukan di tong sampah,
di got, bahkan didalam kantong plastik.Kemana hati nurani ibu dan ayah
mereka?Dengan mudahnya mereka membunuh anak-anak mereka sendiri, darah daging
mereka sendiri, yang seharusnya mereka jaga, mereka rawat dengan baik tatapi
yang mereka lakukan adalah memaksa melahirkan sebelum waktunya dan membuangnya.
Marak terjadi
tindak aborsi bukan hanya pada orang-orang yang telah dewasa.Tetapi justru
mereka yang masih remaja juga melakukannya.Hal itu sangat memprihatinkan.Apa
itu karena kurangnya pengetahuan tentang Agama dan Moral? Atau memang moral
anak bengsa yang telah rusak?Ataukah keduanya, tetapi pada dasarnya tindakan
itu sangat bertentangan dengan moral dan agama.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
yang dikemukakan di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apakah
pengertian aborsi secara umum?
b. Bagaimana
pandangan agama Hindu, Islam, Kristen Protestan, Buddha, Kristen Katolik
tentang tindak aborsi?
c. Apakah
bahaya dari tindak aborsi?
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah pembaca dapat mengetahui pengertian
aborsi secara umum, dan dapat mengetahui pandangan-pandangan berbagai agama
(Islam, Hindu, dan Kristen) tentang tindak aborsi serta dapat mengetahui dampak
buruk atau bahaya dari tindak aborsi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Aborsi
Aborsi
(Abortus) adalah berakhirnya suatu kehamilan (akibat factor tertentu) pada atau
sebelum kehamilan itu berusia 20 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup
di luar kendungan (Lily Yulaikah, 2008: 72).
Di Indonesia,
belum ada batasan resmi mengenai aborsi. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Prof. Dr. JS.Badudu dan Prof. Sutan Mohammad Zain, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996) abortus didefinisikan sebagai terjadi keguguran janin; melakukan
abortus sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan
bakal bayi yang dikandung itu).Secara umum istilah aborsi diartikan sebagai
pengguguran kandungan, yaitu dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu
secara sengaja maupun tidak.Biasanya dilakukan saat janin masih berusia muda
(sebelum bulan ke empat masa kehamilan).
Sementara dalam
pasal 15 (1) UU Kesehatan Nomor 23/1992 disebutkan bahwa dalam keadaan darurat
sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat
dilakukan tindakan medis tertentu.Sedangkan pada ayat 2 tidak disebutkan bentuk
dari tindakan medis tertentu itu, hanya disebutkan syarat untuk melakukan
tindakan medis tertentu.
Dengan demikian
pengertian aborsi yang didefinisikan sebagai tindakan tertentu untuk
menyelamatkan ibu dan atau bayinya (pasal 15 UU Kesehatan) adalah pengertian
yang sangat rancu dan membingungkan masyarakat dan kalangan medis.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melarang keras dilakukannya aborsi dengan
alasan apapun sebagaimana diatur dalam pasal 283, 299 serta pasal 346 -
349.Bahkan pasal 299 intinya mengancam hukuman pidana penjara maksimal empat
tahun kepada seseorang yang memberi harapan kepada seorang perempuan bahwa
kandungannya dapat digugurkan.
Namun, aturan
KUHP yang keras tersebut telah dilunakkan dengan memberikan peluang
dilakukannya aborsi.Sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat 1 UU Kesehatan
tersebut di atas.
Namun pasal 15
UU Kesehatan juga tidak menjelaskan apa yang dimaksud tindakan medis tertentu
dan kondisi bagaimana yang dikategorikan sebagai keadaan darurat.
Dalam
penjelasannya bahkan dikatakan bahwa tindakan medis dalam bentuk pengguguran
kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma
hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan
darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya
dapat diambil tindakan medis tertentu.Lalu apakah tindakan medis tertentu bisa
selalu diartikan sebagai aborsi yang artinya menggugurkan janin, sementara
dalam pasal tersebut aborsi digunakan sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan
atau janin.Jelas disini bahwa UU Kesehatan telah memberikan pengertian yang
membingungkan tentang aborsi.
2.2
Aborsi di Pandang dari Segi Agama Hindu
Aborsi
dalam Theology Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut “Himsa karma”
yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti,
dan menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai “menghilangkan
nyawa” mendasari falsafah “atma” atau roh yang sudah berada dan melekat pada
jabang bayi sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti
tubuh manusia. Segera setelah terjadi pembuahan di sel telur maka atma sudah ada
atas kuasa Hyang Widhi. Dalam “Lontar Tutur Panus Karma”, penciptaan manusia
yang utuh kemudian dilanjutkan oleh Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai
“Kanda-Pat” dan “Nyama Bajang”. Selanjutnya Lontar itu menuturkan bahwa
Kanda-Pat yang artinya “empat-teman” adalah: I Karen, sebagai calon ari-ari; I
Bra, sebagai calon lamas; I Angdian, sebagai calon getih; dan I Lembana,
sebagai calon Yeh-nyom. Ketika cabang bayi sudah berusia 20 hari maka Kanda-Pat
berubah nama menjadi masing-masing: I Anta, I Preta, I Kala dan I Dengen.
Selanjutnya setelah berusia 40 minggu barulah dinamakan sebagai : Ari-ari,
Lamas, Getih dan Yeh-nyom. Nyama Bajang yang artinya “saudara yang selalu
membujang” adalah kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang tidak berwujud. Jika
Kanda-Pat bertugas memelihara dan membesarkan jabang bayi secara phisik, maka
Nyama Bajang yang jumlahnya 108 bertugas mendudukkan serta menguatkan atma atau
roh dalam tubuh bayi.
Oleh karena
itulah perbuatan aborsi disetarakan dengan menghilangkan nyawa. Kitab-kitab
suci Hindu antara lain Rgveda 1.114.7 menyatakan: “Ma no mahantam uta ma no
arbhakam” artinya: Janganlah mengganggu dan mencelakakan bayi. Atharvaveda
X.1.29: “Anagohatya vai bhima” artinya: Jangan membunuh bayi yang tiada
berdosa. Dan Atharvaveda X.1.29: “Ma no gam asvam purusam vadhih” artinya:
Jangan membunuh manusia dan binatang. Dalam ephos Bharatayuda Sri Krisna telah
mengutuk Asvatama hidup 3000 tahun dalam penderitaan, karena Asvatama telah
membunuh semua bayi yang ada dalam kandungan istri-istri keturunan Pandawa,
serta membuat istri-istri itu mandul selamanya.
Pembuahan sel
telur dari hasil hubungan sex lebih jauh ditinjau dalam falsafah Hindu sebagai
sesuatu yang harusnya disakralkan dan direncanakan. Baik dalam Manava
Dharmasastra maupun dalam Kamasutra selalu dinyatakan bahwa perkawinan menurut
Hindu adalah “Dharmasampati” artinya perkawinan adalah sakral dan suci karena
bertujuan memperoleh putra yang tiada lain adalah re-inkarnasi dari roh-roh
para leluhur yang harus lahir kembali menjalani kehidupan sebagai manusia
karena belum cukup suci untuk bersatu dengan Tuhan atau dalam istilah Theology
Hindu disebut sebagai “Amoring Acintya”. Oleh karena itu maka suatu rangkaian
logika dalam keyakinan Veda dapat digambarkan sebagai berikut : Perkawinan
(pawiwahan) adalah untuk syahnya suatu hubungan sex yang bertujuan memperoleh
anak. Gambaran ini dapat ditelusuri lebih jauh sebagai tidak adanya keinginan
melakukan hubungan sex hanya untuk kesenangan belaka.Prilaku manusia menurut
Veda adalah yang penuh dengan pengendalian diri, termasuk pula pengendalian
diri dalam bentuk pengekangan hawa nafsu.Pasangan suami-istri yang mempunyai
banyak anak dapat dinilai sebagai kurang berhasilnya melakukan pengendalian
nafsu sex, apalagi bila kemudian ternyata bahwa kelahiran anak-anak tidak dalam
batas perencanaan yang baik.Sakralnya hubungan sex dalam Hindu banyak dijumpai
dalam Kamasutra. Antara lain disebutkan bahwa hubungan sex hendaknya
direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, misalnya terlebih dahulu bersembahyang
memuja dua Deva yang berpasangan yaitu Deva Smara dan Devi Ratih, setelah
mensucikan diri dengan mandi dan memercikkan tirta pensucian. Hubungan sex juga
harus dilakukan dalam suasana yang tentram, damai dan penuh kasih sayang.
Hubungan sex yang dilakukan dalam keadaan sedang marah, sedih, mabuk atau tidak
sadar, akan mempengaruhi prilaku anak yang lahir kemudian.
Oleh karena
hubungan sex terjadi melalui upacara pawiwahan dan dilakukan semata-mata untuk
memperoleh anak, jelaslah sudah bahwa aborsi dalam Agama Hindu tidak dikenal
dan tidak dibenarkan.
2.3
Aborsi di Pandang dari Segi Agama Islam
A. Pengertian Aborsi Menurut
Syariat
Dalam
istilah syari’at, aborsi adalah kematian janin atau keguguran sebelum
sempurna, walaupun janin belum mencapai usia enam bulan. Dapat disimpulkan
bahwa aborsi secara syari’at tidak melihat kepada usia kandungan, namun melihat
kepada kesempurnaan bentuk janin tersebut.
B.
Pandangan Agama Islam Tentang Aborsi
Dr.
Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunyaEmansipasi Adakah Dalam
Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum
atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah ditiupkannya ruh,
yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih
(fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat
jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh.Sebagian
memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Pendapat
yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad
Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena
belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan
alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.Pendapat yang disepakati
fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh
(empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4
(empat) bulan masa kehamilan.Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4
bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan
ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan
pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ
مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِه ِِ شَيْئا ًوَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانا ً وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَق ٍنَحْنُ
نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ
بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِه ِِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena
takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan
janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar
[518]". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami (nya).
Berdasarkan
dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau
telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah
suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Dalil syar’i
yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam
adalah hadits Nabi Saw berikut:
“Jika nutfah
(gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang
malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat
pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang
belulangnya.Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia
(akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah kemudian
memberi keputusan…” [HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a.].
Hadits di atas
menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota
tubuhnya, adalah setelah melewati 40 atau 42 malam.Dengan demikian, penganiayaan
terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai
tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam).Tindakan
penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.
Jadi, siapa saja
yang melakukan aborsi baik dari pihak ibu, bapak maupun tenaga
kesehatan.Berarti mereka telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal
yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak
laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor
onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah
tersebut. Rasulullah Saw bersabda:
“Rasulullah Saw
memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang
gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki
atau perempuan…” [HR. Bukhari danMuslim, dari Abu Hurairah r.a.](Abdul
Qadim Zallum, 1998).
Sedangkan aborsi
pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan
tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi
janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan
darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal
sebagai manusia.
Pendapat
yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu
Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al
Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan
Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma
dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan
pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk
baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi
eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan
setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru
lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi,
1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali
Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai
Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul
Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman
77-79).
Pendapat yang
menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma
dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalahpendapat yang
tidak kuat.Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah
pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu
sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu
belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam
kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah(1963) halaman 85 adalah
“sesuatu yang ada pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al
hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak,
iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan
pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik,
belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma
dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan
sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam
sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanyaada
setelah pembuahan.
وَلاَ تَقْتُلُواْ
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِّ
“Dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar. “ (Q.S. Al Israa’: 33)
Namun demikian,
dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah
peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan
janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus.
Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan
penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang
diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:
“Barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 32).
Di samping itu
aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan.Sedangkan
Rasulullah Saw telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw
bersabda:
“Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya.Maka berobatlah kalian!” [HR. Ahmad].
Kaidah fiqih
dalam masalah ini menyebutkan:
“Jika
berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih
ringan madharatnya.”(Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al
Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Berdasarkan
kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan
kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Hal
ini harus dapat dipastikan secara medis. Karena syariat memandang sang ibu
sebagai akar pohon dan sang janin sebagai cabangnya. Dalam Islam dikenal
prinsip al ahamm wa al muhimmn (yang lebih penting dan yang penting), dalam
kasus ini dapat diartikan “mengambilan yang lebih kecil buruknya dari dua
keburukan”. Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medis adalah
demi menyelamatkan nyawa ibu. Syarat-syaratnya:
1. Dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang
memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli
kebidanan dan penyakit kandungan)
sesuai dengan tanggung jawab profesi.
3. Harus
ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.
4. Dilakukan
di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang
memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.
5. Prosedur
tidak dirahasiakan.
Sedangkan
menurut hukum yang berlaku di Indonesia yaitu menurut Undang-Undang abortus
1967 mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh dijatuhi hukuman bila ia
mengakhiri kehamilan dengan bantuan tenaga medis yang sudah mempunyai izin bila
tenaga medi tersebut memang melakukan abortus atas dasar yang baik dengan
syarat sebagai berikut:
1. Bahwa
melanjutkan kehamilan dapat membahayakan kehidupan wanita hamil tersebut, atau
dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
2. Ada
resiko yang cukup hebat bahwa bila bayi diahirkan , bayi mungkin mengalami
cacat fisik atau mental yang cukup parah.
Memang
mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang
ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun
menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada
menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan
keberadaan janin tersebut (Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
2.3
Aborsi di Pandang dari Segi Agama Kristen Protestan
Dalam Alkitab
dikatakan dengan jelas betapa Tuhan sangat tidak berkenan atas pembunuhan
seperti yang dilakukan dalam tindakan aborsi.
a. Jangan
pernah berpikir bahwa janin dalam kandungan itu belum memiliki nyawa.
Yer 1:5 ~
“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan
sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah
menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
Kej
16:11; Kej 25:21-26; Hos 12:2-3; Rom 9:10-13; Kel 21-22; Yes 7:14;
Yes 44:2,24; Yes 46:3; Yes 49:1-2; Yes 53:6; Ayb
3:11-16; Ayb 10:8-12; Ef 1:4; Mat 25:34; Why 13:8; Why 17:8
b. Hukuman
bagi para pelaku aborsi sangat keras.
Kel
21:22-25 ~ Apabila ada orang berkelahi dan seorang dari mereka tertumbuk
kepada seorang perempuan yang sedang mengandung, sehingga keguguran kandungan,
tetapi tidak mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka pastilah ia didenda
sebanyak yang dikenakan oleh suami perempuan itu kepadanya, dan ia harus
membayarnya menurut putusan hakim. Tetapi jika perempuan itu
mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti
nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki,
lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.
c. Aborsi
karena alasan janin yang cacat tidak dibenarkan Tuhan.
Yoh 9:1-3 ~
Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak
lahirnya. Murid-muridNya bertanya kepadaNya: “Rabi, siapakah yang
berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan
buta?"” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena
pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia…”
Kis
17:25-29; Mzm 94:9; Rom 8:28; Im 19:14; Yes 45:9-12
d. Aborsi
karena ingin menyembunyikan aib tidak dibenarkan Tuhan.
Kej 19:36-38 ~ Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka. Yang lebih tua melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab; dialah bapa orang Moab yang sekarang. Yang lebih mudapun melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami; dialah bapa bani Amon yang sekarang.
Kej 19:36-38 ~ Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka. Yang lebih tua melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab; dialah bapa orang Moab yang sekarang. Yang lebih mudapun melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami; dialah bapa bani Amon yang sekarang.
Kej
50:20; Rom 8:28
e. Tuhan
tidak pernah memperkenankan anak manusia dikorbankan. Apapun alasannya.
Kel
1:15-17 ~ Raja Mesir juga memerintahkan kepada bidan-bidan yang menolong
perempuan Ibrani, seorang bernama Sifra dan yang lain bernama Pua, katanya:
“Apabila kamu menolong perempuan Ibrani pada waktu bersalin, kamu harus
memperhatikan waktu anak itu lahir: jika anak laki-laki, kamu harus
membunuhnya, tetapi jika anak perempuan, bolehlah ia hidup.” Tetapi
bidan-bidan itu takut akan Allah dan tidak melakukan seperti yang dikatakan
raja Mesir kepada mereka, dan membiarkan bayi-bayi itu hidup.
Yeh 16:20-21;
Yer 32:35; Mzm 106:37-42 ; II Raj 16:3;
17:17 ; 21:6 ; Ul 12:31; 18:10-13;Im 18:21,
24 dan 30
f. Anak-anak
adalah pemberian Tuhan. Jagalah sebaik-baiknya.
Kej
30:1-2 ~ Ketika dilihat Rahel, bahwa ia tidak melahirkan anak bagi Yakub,
cemburulah ia kepada kakaknya itu, lalu berkata kepada Yakub: “Berikanlah
kepadaku anak; kalau tidak, aku akan mati.” Maka bangkitlah amarah
Yakub terhadap Rahel dan ia berkata:” Akukah pengganti Allah, yang telah
menghalangi engkau mengandung?”
Mzm
127:3-5 ~ Sesungguhnya, anak laki-laki adalah milik pusaka dari pada
Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah
di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa
muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya
dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia
berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang.
2.4
Aborsi di Pandang dari Segi Agama Buddha
Dalam
pandangan agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan pengguguran kandungan atau
membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu.Dari sudut
pandang Buddhis aborsi bisa di toleransi dan dipertimbangkan untuk
dilakukan.Agama Buddha, umat Buddha terdiru dari dua golongan yaitu pabbajita
dan umat awam.Seorang pabbajita mutlak tidak boleh melakukan aborsi karena
melanggar vinaya yaitu parajjika.Tetapi sebagai umat awam aborsi boleh
dilakukan dengan alasan yang kuat.Misal janin dalam kandungan dalam kondisi
abnormal yang dapat membahayakan kesehatan ibu bahkan dapat mengancam
keselamatan ibu.Aborsi dalam agama Buddha merupakan suatu pembunuhan yang tidak
diperbolehkan yang dapat menimbulkan karma buruk.Tetapi agama Buddha tidak melarang
secara multak orang yang melakukan aborsi.Dengan alasan yang sangat kuat aborsi
dapat dilakukan dengan berbagai pertimbangan.Hal terbaik untuk tidak melakukan
aborsi adalah menghindari terjadinya aborsi misal tidak melakukan hubungan seks
bebas yang bisa memungkinkan terjadinya aborsi. Dalam kasus lain yang tidak
dapat dihindari untuk terjadinya aborsi boleh dilakukan dengan alasan tidak ada
cara lain yang terbaik dan dengan alasan yang sangant kuat. Aborsi boleh
dilakukan dengan kondisi yang sangat sulit akan tetapi seminimal mungkin untuk
menghindari terjadinya aborsi karena dalam agama buddha aborsi merupakan suatu
pembunuhan yang tidak diperbolehkan karena menghilangkan nyawa suatu mahluk
yang mengakibatkan karma buruk.
Dalam agama
budha perlakuan aborsi tidak dibenarkan karena suatu karma harus diselesaikan
dengan cara yang baik, jika tidak maka akan timbul karma yang lebih buruk lagi.
Syarat yang
harus dipenuhi terjadinya makhluk hidup :
a. Mata
utuni hoti: masa subur seorang wanita
b. Mata
pitaro hoti: terjadinya pertemuan sel telur dan sperma
c. Gandhabo
paccuppatthito: adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus kehidupan
baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta), yang
memiliki energi karma
Dari penjelasan
di atas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan aborsi
karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila pertama yaitu
panatipata. Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai
berikut:
a) Ada
makhluk hidup (pano)
b) Mengetahui
atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)
c) Ada
kehendak (cetana) untuk membunuh (vadhabacittam)
d) Melakukan
pembunuhan (upakkamo)
e) Makhluk
itu mati karena tindakan pembunuhan ( tena maranam)
Apabila terdapat
kelima faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran
sila pertama. Oleh karena itu sila berhubungan erat dengan karma maka
pembunuhan ini akan berakibat buruk yang berat atau ringannya tergantung pada
kekuatan yang mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu. Bukan hanya pelaku saja
yang melakukan tindak pembunuhan, ibu sang bayi juga melakukan hal yang sama.
Bagaimanapun mereka telah melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan
akibat di kemudian hari.
Dalam Majjhima
Nikaya 135 Buddha bersabda "Seorang pria dan wanita yang membunuh makhluk
hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada
makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan
kembali sebagai manusia di mana saja ia akan bertumimbal lahir, umurnya
tidaklah akan panjang".
2.5
Aborsi di Pandang dari Segi Agama Kristen Katolik
Bagaimana
memelihara hidup sebelum lahir dan menjelang ajalnya?Di sini kita juga harus
terus menerus mencari jalan agar dapat menyelesaikan konflik secara manusiawi.
Pada saat-saat akhir hidup, rasa hormat akan hidup mungkin bertentangan dengan
rasa iba karena menyaksikan penderitaan yang membuat hidup itu kelihatan
tak-bernilai lagi, sampai orang – dengan eutanasia – mempercepat kematian guna
membebaskan sesama dari penderitaannya. Masa awal hidup, yaitu masa hidup dalam
kandungan, mempunyai arti yang khas, baik bagi bayi maupun bagi ibunya.Hidup
manusia baru itu berelasi dengan ibunya dan relasi itu meliputi dimensi-dimensi
biologis, medis, psikologis, dan juga pribadi. Anak di dalam kandungan
“menerima hidup” seluruhnya dari ibunya yang “memberikan” hidup, dan justru
relasi erat itu dapat menimbulkan bermacam-macam konflik, yang sering berakhir
dengan pengguguran (aborsi).
Mengenai
pengguguran, tradisi Gereja amat jelas, Mulai dari abad-abad pertama
sejarahnya, Gereja membela hidup anak di dalam kandungan, juga kalau (seperti
dalam masyarakat Romawi abad pertama dan kedua) pengguguran diterima umum dalam
masyarakat.Orang Kristen selalu menentang dan melarang pengguguran. Konsili
Vatikan II masih menyebut pengguguran suatu “tindakan kejahatan yang durhaka”,
sama dengan pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan kehidupan; telah
mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan
dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus
dilindungi dengan sangat cermat.” (GS 51) Menurut ensiklik Paus Paulus
VI, Humanae Vitae (1968) pengguguran, juga dengan alasan terapeutik,
bertentangan dengan tugas memelihara dan meneruskan hidup (14).Dalam ensiklik
Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor (1993), pengguguran
digolongkan di antara “perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya –
dengan sendirinya dan dalam dirinya dan oleh karena isinya dilarang keras”. Gaudium
et Spes menyatakan, “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri,
bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia,
dan bunuh diri yang sengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia,
seperti … penganiayaan, apa pun yang melukai martabat manusia … : semuanya itu
sudah merupakan perbuatan keji, mencoreng peradaban manusia : .. sekaligus
sangat bertentangan dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (GS 27; VS 80).
Kitab Hukum
Kanonik mengenakan hukuman ekskomunikasi pada setiap orang yang aktif terlibat
dalam “mengusahakan pengguguran kandungan yang berhasil” (KHK kan. 1398).
Hukuman itu harus dimengerti dalam rangka keprihatinan Gereja untuk melindungi
hidup manusia. Sebab hak hidup “adalah dasar dan syarat bagi segala hal lain,
dan oleh karena itu harus dilindungi lebih dari semua hal yang lain. Masyarakat
atau pimpinan mana pun tidak dapat memberi wewenang atas hak itu kepada
orang-orang tertentu dan juga tidak kepada orang lain” (Kongregasi untuk Ajaran
Iman, Deklarasi mengenai Aborsi, 18 November 1974, no. 10). “Hak itu
dimiliki anak yang baru lahir sama seperti orang dewasa.Hidup manusia harus
dihormati sejak saat proses pertumbuhannya mulai” (no. 11).
Manusia
dalam kandungan memiliki martabat yang sama seperti manusia yang
sudah lahir. Karena martabat itu, manusia mempunyai hak-hak asasi dan dapat
mempunyai segala hak sipil dan gerejawi, sebab dengan kelahirannya hidup
manusia sendiri tidak berubah, hanya lingkungan hidupnya menjadi lain. Kendati
anak baru mulai membangun relasi sosial setelah kelahiran, namun sudah dalam
kandungan berkembanglah kemampuannya untuk relasi pribadi.Baru sesudah
kelahirannya, manusia menjadi anggota masyarakat hukum. Namun juga sebelum
lahir, ia adalah individu unik, yang mewakili seluruh “kemanusiaan” dan oleh
sebab itu patut dihargai martabatnya. Keyakinan-keyakinan dasar ini makin
berlaku bagi orang yang percaya, bahwa setiap manusia diciptakan oleh Allah
menurut citra-Nya, ditebus karena cinta kasih-Nya, dan dipanggil untuk hidup
dalam kesatuan dengan-Nya.“Allah menyayangi kehidupan” (KWI, Pedoman
Pastoral tentang Menghormati Kehidupan, 1991). Artinya: setiap manusia
disayangi-Nya. Maka sebetulnya tidak cukuplah mengakui “hak” hidup manusia
dalam kandungan; hidup manusia harus dipelihara supaya dapat berkembang sejak
awal.
Kapankah mulai
hidup seorang manusia sebagai individu dan pribadi?Pertanyaan itu mendapat
bermacam-macam jawaban yang berbeda-beda dari zaman ke zaman, sesuai dengan
pengetahuan medis dan sesuai dengan keyakinan filsafat dan religius yang
berbeda-beda.Banyak orang menilai hidup sesudah kelahiran lebih tinggi daripada
sebelumnya (sebab anak yang belum lahir belum “dilihat”), namun tetap
dikatakan, bahwa hidup “harus dihormati sejak saat mulai pertumbuhannya”.
Manusia menjadi manusia dalam suatu proses pertumbuhan, dan dalam proses itu,
dibedakan beberapa “saat” yang menonjol. Pada saat pembuahan (yakni persatuan
sel telur dan sperma) mulailah suatu makhluk baru, yang mulai hidup dengan
identitas genetik tersendiri; namun sampai saat embrio bersarang dalam
kandungan (nidasi) kira-kira 40% embrio gugur. Individualitas menjadi makin
jelas, pada saat bila tidak bisa menjadi kembar lagi (twinning) atau sudah
tidak mungkin lagi dua kumpulan sel menjadi satu kembali (reconjunction), dan
bila mulai berkembang (sumsum) tulang punggung. Karena otak mutlak perlu untuk
perbuatan-perbuatan personal, maka ada yang berpendapat, bahwa sebelum struktur
otak terbentuk (yang terjadi antara hari ke-15 sampai ke-40), tidak tepat
memandang embrio sebagai manusia yang berpribadi.Jelaslah, bahwa semua pendapat
ini tidak hanya bersandar pada alasan medis dan biologis, melainkan juga
berlatar-belakang suatu gambaran manusia yang tertentu. Tambah pula,
istilah-istilah seperti “manusia”, “individual” dan “personal” belum tentu
punya arti yang sama. Kiranya semua menyetujui yang dikatakan dalamDeklarasi
mengenai Aborsi oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman (1974), “Dengan
pembuahan sel telur sudah dimulai hidup yang bukan lagi bagian dari hidup ayah
atau ibunya, melainkan adalah hidup manusia baru, dengan pertumbuhannya
sendiri.” Namun tidak semua sependapat bahwa hidup yang bertumbuh itu harus
dilindungi dengan cara yang sama, mulai dari tahap pertama perkembangannya.
Tetapi Gereja menuntut, supaya hidup manusia dilindungi seluas-luasnya sejak
saat pembuahan, justru karena tidak mungkin ditetapkan dengan tegas kapan
mulailah hidup pribadi manusia.“Kehidupan manusia sejak saat pembuahan adalah
suci” (KWI).
Sebab
itu, moral Katolik memegang teguh keyakinan, bahwa begitu hidup pribadi manusia
dimulai, pembunuhan sebelum kelahiran dinilai sama seperti pembunuhan setelah
kelahiran. Pengguguran dinilai sehubungan dengan larangan membunuh
manusia.Namun larangan membunuh, biarpun berlaku universal, berlaku tidak tanpa
kekecualian.Hidup manusia adalah nilai paling fundamental, namun bukan nilai
yang paling tinggi.Hidup manusia dapat dikurbankan demi nilai yang lebih tinggi
dan yang lebih mendesak – sebagaimana jelas dari uraian teologi moral mengenai
“hukuman mati”. Maka, tidak sedikit ahli teologi moral Katolik yang berpendapat
bahwa kalau ada seorang ibu yang tidak mungkin diselamatkan, bila kehamilan
berlangsung terus dan kalau anak dalam kandungan oleh karena penyakit sang ibu
juga tidak mampu hidup sendiri di luar kandungan, dalam konflik itu hidup ibu
yang mesti berlangsung terus harus diselamatkan biarpun oleh karenanya hidup
anak tidak mungkin diselamatkan. Pokoknya, hidup harus dipelihara! Kalau
tidak mungkin hidup ibu dan anak, sekurang-kurangnya satu yang hidup terus!
Namun
kiranya jarang terjadi bahwa pengguguran menjadi satu-satunya jalan untuk
memelihara hidup. Jauh lebih sering terjadi konflik lain, seperti kehamilan di
luar nikah yang menjadi beban psikis bagi ibu dan keluarganya. Jelas sekali,
bahwa konflik seperti itu tidak dapat diselesaikan dengan pengguguran.Dalam hal
ini harus dituntut sikap wajar dan manusiawi dari lingkungan, dan dari
tempat-tempat pendidikan serta tempat kerja.Kewajiban mereka ialah membantu
orang yang hamil di luar nikah, bukan menghukumnya. Hal yang sama berlaku, bila
pemeriksaan medis sebelum kelahiran memperlihatkan, bahwa anak yang akan lahir
itu cacat. Sudah barang tentu, demi cacatnya, anak tidak boleh dibunuh, baik
setelah maupun sebelum lahir, Konflik yang dialami oleh keluarga yang
menantikan kelahiran seorang anak cacat, hendaknya diatasi dengan bantuan
sosial dan dengan konseling, pribadi dan resmi, sipil dan gerejawi. Konflik
hidup hanya dapat diselesaikan dengan membantu hidup!
Di Indonesia
pengguguran terlarang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 346-349, yang
untuk itu juga ditetapkan hukuman yang berat.Hukum Pidana mau melindungi hidup
sejak awal. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kesehatan (1992) tampaknya
ingin mengatur konflik:
“Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.” Aturannya memang tidak jelas, karena menampung banyak pendapat yang berbeda-beda; dan pada umumnya dipertanyakan, adakah hukum aborsi masih efektif membantu orang dalam konflik atau melindungi hidup dalam kandungan.
“Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.” Aturannya memang tidak jelas, karena menampung banyak pendapat yang berbeda-beda; dan pada umumnya dipertanyakan, adakah hukum aborsi masih efektif membantu orang dalam konflik atau melindungi hidup dalam kandungan.
Kini
makin meluaslah pendapat bahwa hidup hanya diterima kalau direncanakan dan
sebagaimana direncanakan. Para dokter dan petugas medis sering dihadapkan
dengan permintaan untuk membunuh anak yang ”di luar rencana”, padahal merekalah
“wakil dan wali kehidupan” dalam masyarakat. Bagaimana mendukung dan membela
hidup dalam suasana “hidup berencana”?Tugas membela dan melindungi hidup tidak
dapat dibebankan seluruhnya kepada ibu yang hamil saja.Dan tidak pada tempatnya
menilai, apalagi mengutuk seorang ibu yang ternyata menggugurkan anak¬nya.Tidak
ada orang yang menggugurkan kandungan karena senang membunuh, melainkan karena
mengalami diri terjepit dalam konflik.Konflik hidup hanya diatasi dengan
bantuan praktis. Bila ada orang merasa harus menggugurkan kandungan atau telah
melakukannya – karena alasan apa pun – orang itu hendaknya diberi pendampingan
manusiawi agar dapat kembali menghargai hidup. Masalah pengguguran hanya nyata
bagi ibu yang hamil.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Aborsi
menurut istilah kesehatan adalah penghentian kehamilan setelah tertanamnya
telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin
(fetus) mencapai 20 minggu. Sedangkan menurut syariat islam
adalah kematian janin atau keguguran sebelum sempurna, walaupun janin
belum mencapai usia enam bulan. Dapat disimpulkan bahwa aborsi secara syari’at
tidak melihat kepada usia kandungan, namun melihat kepada kesempurnaan bentuk
janin tersebut. Tidak ada satupun ayat didalam Al-Quran yang menyatakan
bahwa aborsi boleh dilakukan oleh umat Islam.Sebaliknya, banyak sekali
ayat-ayat yang menyatakan bahwa janin dalam kandungan sangat mulia. Dan banyak
ayat-ayat yang menyatakan bahwa hukuman bagi orang-orang yang membunuh
sesama manusia adalah sangat mengerikan. Aborsi dalam agama Kristen sangat
dilarang, dan dikatakan bahwa betapa Tuhan sangat tidak berkenan atas
pembunuhan seperti yang dilakukan dalam tindakan aborsi.
Aborsi dalam
Theology Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut “Himsa karma” yakni
salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan
menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai “menghilangkan
nyawa” mendasari falsafah “atma” atau roh yang sudah berada dan melekat pada
jabang bayi sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti
tubuh manusia. Dalam undang-undang pun pidana yang mengikatnya sangat rancu dan
lebih mengarah untuk tidak melakukan pengguguran (aborsi) terkecuali dalam
keadaan darurat yang menghawatirkan keselamatan salahsatu nya, yaitu ibu dan
bayi dilakukan tindakan medis.Namun, pernyataan itu juga tidak mengatakan untuk
melakukan tindakan aborsi.
Dari
pernyataan-pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tindakan
aborsi sangat dilarang dalam semua agama.Tidak ada satu kitab pun yang
membenarkan tindakan aborsi dalam keadaan apapun.
3.2 Saran
Tindakan
aborsi tidak dibenarkan oleh semua agama.Oleh karena itu hendaknya kita sebagai
seorang wanita berhati-hati pada hal-hal yang mengarah pada tindak aborsi.Dan
sebagai seorang bidan yang berkecimpung pada pertolongan persalinan hendaknya
tidak menolong pasien yang meminta persalinan sebelum waktunya (aborsi).
Hallo kk. Saya mau berbagi info tentang bisnis online yang mudah dan hanya memanfaatkan via smartphone, Kaka bisa cek info bisnisnya dibawah ini 👇
BalasHapusbit.ly/BOYBUSINESS
Hallo kk. Saya mau berbagi info tentang bisnis online yang mudah dan hanya memanfaatkan via smartphone, Kaka bisa cek info bisnisnya dibawah ini 👇
BalasHapushttp://line.me/ti/p/%40fvs6485s
Hallo kk. Saya mau berbagi info tentang bisnis online yang mudah dan hanya memanfaatkan via smartphone, Kaka bisa cek info bisnisnya dibawah ini 👇
BalasHapushttps://goo.gl/3ZfV5q
dapusnya kak?
BalasHapus